CARA SHOLAT
Assalamu'alaykum Wr. Wb. 
Sebagaimana yang pernah kita bahas sebelumnya, 
bahwa perintah sholat merupakan tradisi yang diwariskan semua Nabi dan Rasul 
sebagai salah satu bentuk ibadah kepada Allah. Ibadah Sholat ini disebutkan juga 
dalam al-Qur’an dilakukan 
dengan cara ruku dan sujud. Meski demikian, al-Qur’an tidak memberikan detil lebih jauh 
mengenai teknis pengerjaan sholat dalam mewujudkan ruku dan sujud tersebut. 
Tradisi sholat yang ada dan berlaku didunia 
Islam dewasa ini pada dasarnya dipercaya merupakan sebuah tradisi yang pernah 
ada dijaman Nabi yang diajarkan dari generasi kegenerasi. Sejauh mana keakuratan 
tradisi ini bisa mengacu juga pada catatan-catatan yang ada dari para perawi 
hadis, baik mereka dari kalangan ahlussunnah maupun syiah sebagai dua aliran 
keagamaan terbesar didunia Islam. 
Kaum ahlussunnah sangat terkenal dengan 
kepercayaan mereka terhadap kitab-kitab hadis catatan dari Imam Bukhari, Imam 
Muslim, Imam Abu Daud, Imam Tirmidzi, Imam Ahmad, Imam an-Nasa’i dan Imam Ibnu Majah serta beberapa nama 
perawi hadis lainnya. Begitupula halnya dengan kaum Syiah yang terkenal karena 
kefanatikannya terhadap Imam-imam dari kalangan ahli bait Nabi secara turun 
menurun yang diambil dari garis keturunan puteri beliau Fatimah dan Ali bin Abu 
Thalib. 
Meskipun ada beberapa perbedaan kecil dalam 
prakteknya, namun secara umum tata cara sholat yang bisa kita temui dari kedua 
aliran ini tidak jauh berbeda antara satu sama lainnya. Karenanya, sisi 
perbedaan yang ditemui masih bisa ditoleransikan. Hal inilah yang 
mengindikasikan kepada kita bahwa tradisi sholat yang berlaku pada jaman kita 
sekarang pasti tidak akan lari terlalu jauh dari yang pernah berlaku dijaman 
Nabi. Buku ini akan mencoba menjelaskan secara singkat dan umum mengenai tata 
cara sholat tersebut, baik berdasarkan al-Qur’an maupun as-Sunnah dari berbagai 
literaturnya.. 
Sebelum memulai sholat, sudah menjadi 
kesepakatan semua umat Islam dari berbagai alirannya untuk melakukan thaharah 
atau bersuci, yaitu dengan cara berwudhu. Praktek ini diperkuat dengan adanya 
perintah tertulis mengenainya didalam al-Qur’an. 
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu 
hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, 
dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki – Qs. 5 al-Maaidah: 6 
Dalam tradisi yang ada, teknis perintah 
berwudhu yang terdapat pada ayat diatas mengalami perkembangan, yaitu dengan 
adanya penambahan mencuci kedua tangan sebelum membasuh muka, lalu berkumur, 
menghisap air hidung, membasuh telinga hingga mencuci janggut. Meskipun demikian 
tidak bisa pula diartikan bahwa penambahan ini menyalahi ketentuan Allah didalam 
al-Qur’an. Kita bisa membaca 
dalam kitab-kitab hadis terkemuka bahwa penambahan yang terjadi ini dilakukan 
oleh Nabi sebagai sunnah beliau untuk lebih membersihkan diri, apalagi bila kita 
ingat dimasa itu tanah Arabia sebagian besar terdiri dari bukit-bukit dan padang 
pasirnya sehingga debu dan kotoran cenderung lebih banyak melekat. 
Dari Usman bin Affan, bahwa ia pernah meminta 
bejana, lalu ia menuangkannya keatas kedua telapak tanganya kemudian 
membasuhnya, lalu memasukkan yang sebelah kanan didalam bejana, kemudian 
berkumur dan mengisap air hidung, kemudian membasuh mukanya tiga kali dan kedua 
tangan sampai siku-siku tiga kali, kemudian mengusap kepalanya, lalu membasuh 
kedua kakinya tiga kali sampai kedua mata kakinya. Kemudian berkata : 
‘Aku melihat Rasulullah Saw 
berwudhu seperti wudhuku ini. – Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim 
Dari Ali r.a, bahwa ia meminta air wudhu, 
kemudia ia berkumur dan mengisap air hidung dan menyemburkan air hidung dengan 
tangan kirinya, maka ia berbuat ini tiga kali kemudian berkata : ‘Inilah bersucinya Nabi Saw.’ – Riwayat Ahmad dan Nasa’i 
Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Saw mengusap 
kepalanya dan dua telinganya, luar dan dalamnya. – Riwayat Tirmidzi 
Dari anas, bahwa Nabi Saw apabila berwudhu maka 
mengambil seciduk air kemudian memasukkannya dibawah cetaknya lalu ia 
menyela-nyela jenggotnya dan bersabda : ‘Demikianlah Tuhanku memerintahkanku.’ – Riwayat Abu Daud 
Karena sifatnya hanya sunnah, maka berpulang 
kepada diri kita saja berdasarkan situasi dan kondisi, apakah ingin berwudhu 
secara sederhana dan mudah yaitu dengan mengikuti ketentuan al-Qur’an atau dengan mencontoh sunnah Nabi-Nya. 
Tidak ada yang perlu dipertentangkan secara khusus mengenai berwudhu ini, sama 
misalnya disebutkan didalam Hadis, bahwa seandainya saja bersiwak atau menggosok 
gigi tidak akan memberatkan umatnya pasti akan disunnahkan oleh Nabi pula untuk 
melakukannya sebelum kita melakukan sholat. 
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw : Beliau 
bersabda : seandainya aku tidak khawatir akan memberatkan orang-orang beriman 
(dalam hadis riwayat Zuhair, disebut umatku), niscaya aku perintahkan mereka 
bersiwak setiap kali akan sholat. - Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, 
Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad, Malik dan Al-Darami 
Berwudhu bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu 
menggunakan air dan menggunakan tanah atau debu yang sudah dibersihkan. Adapun 
cara kedua tersebut dilakukan hanya apabila tidak dijumpainya air yang bersih 
atau karena sakit yang mengakibatkannya tidak dapat bersentuhan dengan air. 
Dan jika kamu 
sakit atau habis buang air atau kamu selesai bersetubuh sedang kamu tidak 
mendapat air maka hendaklah kamu cari debu yang bersih, lalu hendaklah kamu sapu 
muka kamu dan tangan kamu karena sungguh Allah itu sangat memudahkan dan Maha 
mengampuni. - Qs. 4 an-Nisaa’ 
43
Usai melakukan wudhu, berdirilah tegak 
menghadap kiblat (arah masjid al-Haram) lalu mulailah bertakbir , yaitu 
mengucapkan Allahu Akbar (Allah Maha Besar). 
Istilah Allahu Akbar tidak dijumpai dalam 
al-Qur’an, sebaliknya 
al-Qur’an memperkenalkan 
sifat al-Kabir sebagai salah satu asma Allah 
Akan tetapi harus diingat bahwa dalam ayat-ayat 
tersebut Tuhan memerintahkan kita untuk mengagungkan-nya, membesarkan-Nya. 
Sementara kata al-Kabir sendiri berfungsi sebagai kata benda (verb) didalam 
bahasa Arab yang jika diucapkan menjadi Akbar, Istilah Takbirah adalah bentuk 
noun dari ungkapan Allahu Akbar sebagaimana yang bisa dijumpai dalam tradisi 
Arabia. 
Surah 17:111 
menyebutkan istilah yang artinya agungkanlah Dia dengan pengagungan yang 
sebenar-benarnya (Kabbir takbira) dan ini adalah bersamaan maknanya dengan 
Allahu Akbar. Kita tidak bisa menolak istilah Allahu Akbar seperti yang dijumpai 
dalam tradisi sholat dan diriwayatkan oleh sejumlah hadis hanya karena istilah 
ini tidak dijumpai didalam al-Qur'an, apalagi menggantinya dengan istilah Allahu 
Kabir seperti yang dilakukan oleh sejumlah orang inkar sunnah.
Didalam tradisi, tidak ada satupun terdengar 
bahwa Nabi ataupun seorang Muslim diluarnya mengucapkan Allahu Kabir, seandainya 
ucapan Allahu Akbar salah dan bertentangan dengan al-Qur'an, tentunya akan 
ditegaskan oleh Nabi sendiri, kata al-Kabir sendiri didalam al-Qur'an berarti 
Allah yang Besar (ini bertindak sebagai superlatif), sementara kata al-Akbar 
sebagaimana didalam Hadist berarti Allah Maha Besar. 
Kenapa kita harus sholat ?
Sampai saat ini masih ada sebagian dari umat 
Islam menganggap sholat hanya semata-mata sebagai suatu ritualitas dalam agama 
yang amalnya akan bermanfaat kelak dihari kiamat selaku penolong dalam 
menghadapi siksaan Allah. Padahal pendapat yang demikian ini tidak sepenuhnya 
dapat dibenarkan, sebab manusia ini memiliki dua kehidupan yang seimbang; yaitu 
kehidupan masa sekarang atau alam duniawi dan kehidupan masa yang akan datang 
atau alam akhirat. 
Tuhan tidak akan memberikan sesuatu yang 
sifatnya tidak seimbang, karena itu juga perintah Sholat tidak hanya berfungsi 
dimasa depan semata namun sebaliknya memiliki kegunaan yang vital bagi manusia 
dalam menjalani hari-hari kehidupannya dimasa kehidupan yang 
sekarang.
Sesungguhnya, sholat itu mencegah dari 
perbuatan keji dan mungkar 
Qs. 29 al-ankabut : 45
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, 
didalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling tarik-menarik sehingga 
menjadikan jiwa condong kesalah satu diantaranya. Unsur tersebut adalah 
nilai-nilai positip (unsur malaikat) dan nilai-nilai negatif (unsur setan). 
Jika kamu berbuat baik, maka kamu berbuat baik 
bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka itu juga untuk dirimu 
sendiri - Qs. 17 al-israa’ : 
7
Ritualitas sholat dinyatakan didalam 
al-Qur’an pada ayat tersebut 
sebagai suatu sarana atau wadah untuk mengontrol perbuatan negatif yang 
seringkali mendominasi diri manusia. Dengan terjalinnya komunikasi yang baik 
dengan Tuhan secara vertikal maka diharapkan secara horisontalpun manusia mampu 
berbuat baik kepada sesamanya bahkan lebih jauh kepada semua hamba Tuhan diluar 
dirinya. 
Namun fakta dilapangan juga membuktikan bahwa 
banyak orang Islam yang rajin melakukan sholat namun kelakuan dan sifatnya 
justru tidak sesuai dengan kehendak Tuhan yang ada pada surah al-Ankabut ayat 45 
tadi, betapa banyak orang yang kelihatannya rajin sholat namun tetap bergunjing, 
melakukan zinah, pelecehan seksual, bahkan bila dia seorang penguasa yang 
memiliki jabatan akan memanfaatkannya untuk menganiaya orang lain, melakukan 
penindasan, korupsi bahkan sampai pada pembunuhan dan peperangan. Inilah contoh 
manusia yang telah lalai dalam sholat mereka.
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang 
sholat
Yaitu orang-orang yang melalaikan 
sholatnya
Qs. 107 al-maa’uun : 4-5
Bila sudah seperti ini, maka kita patut 
memperhatikan firman Allah yang lain :
Luruskan mukamu di setiap sholat 
dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan 
keta'atanmu kepada-Nya - Qs. 7 al-a’raaf 29
Dari ayat tersebut, Allah hendak menyampaikan 
kepada manusia bahwa sholat itu memerlukan sikap lahir dan batin yang saling 
berkolerasi atau berhubungan. Meluruskan muka adalah memantapkan seluruh gerakan 
anggota tubuh dan menyesuaikannya dengan konsentrasi jiwa menghadap sang Maha 
Pencipta alam semesta. Disaat mulut membaca al-Fatihah, hati harus mengikutinya 
dengan sebisa mungkin memahami secara luas arti al-Fatihah sementara pikiran 
berkonsentrasi dengan gerak mulut dan hati, inilah keseimbangan yang 
di-istilahkan dengan khusuk dalam ayat berikut :
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang 
beriman, Yaitu orang-orang yang khusuk dalam sholatnya - Qs. 23 
al-mu’minuun : 1-2
Jadi, khusuk adalah suatu perbuatan yang 
menyeimbangkan gerak lahir dan batin, sehingga terciptalah suatu konsistensi 
ketika ia diterapkan dalam kehidupan nyata, sesuai dengan komitmen yang 
dilafaskan dalam do’a iftitah 
:
Katakanlah: Sesungguhnya sholatku, ibadahku, 
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam - Qs. 6 
Al-An'am:162
Akhirnya sholat merupakan ritualitas multi 
dimensi yang semuanya mengarah kepada sipelakunya sendiri agar mendapat 
kebaikan, baik dalam hal mengontrol diri ketika masih hidup didunia maupun 
menjadi amal yang membantu saat penghisaban dihari kiamat kelak.
Lalu siapakah yang lebih baik agamanya selain 
orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah sedang diapun mengerjakan 
kebaikan ? - Qs. 4 an-Nisaa': 125 
Kenapa sholat harus didahului oleh azan 
? 
Azan adalah seruan sebagai pertanda sudah 
masuknya waktu sholat, sekaligus sebagai seruan pemanggil umat agar orang-orang 
berkumpul dan bisa melakukan ibadah sholat secara berkelompok atau berjemaah. 
Secara kontekstual, tidak ada satu ayatpun didalam al-Qur’an yang menjelaskan perihal azan ini 
apalagi mengatur tata cara dan bacaannya, tetapi seruan ini secara umum bisa 
dijumpai secara tersirat dari beberapa ayat al-Qur’an.
Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan 
syari'at tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka 
membantah kamu dalam urusan ini dan serulah kepada Tuhanmu. Sesungguhnya kamu 
benar-benar berada pada jalan yang lurus. - Qs. 22 al-Hajj 67
Dan katakanlah: Segala puji bagi Allah Yang 
tidak mempunyai anak dan tidak mempuyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak 
mempunyai penolong dari kehinaan dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang 
sebenar-benarnya. - Qs. 17 al-Israa’ 111
Lebih detail lagi, masalah azan ini bisa 
dijumpai dalam beberapa hadis sebagai berikut :
Dari Malik bin al-Huwairits, sesungguhnya Nabi 
Saw telah bersabda: Apabila waktu sholat telah tiba maka hendaklah salah seorang 
diantara kamu adzan untuk sholatmu itu; dan hendaklah yang tertua diantara kamu 
itu yang bertindak sebagai imam bagi kamu. – Riwayat Ahmad, Bukhari dan 
Muslim
Riwayat Abdullah bin Umar, ia berkata 
:
Dahulu, orang-orang Islam ketika tiba di 
Madinah, mereka berkumpul lalu memperkirakan waktu Sholat. Tidak ada seorangpun 
yang menyeru untuk Sholat. Pada suatu hari mereka membicarakan hal itu. Sebagian 
mereka berkata : Gunakanlah lonceng seperti lonceng orang Kristen.; Sebagian 
yang lain berkata : Gunakanlah terompet seperti terompet orang Yahudi.; Kemudian 
Umar berkata : Mengapa kalian tidak menyuruh seseorang agar berseru untuk 
sholat? Rasulullah Saw bersabda : Hai Bilal, bangunlah dan serulah untuk sholat 
- Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i dan Ahmad
Rasulullah Saw mempunyai dua muadzin, Bilal dan 
Ibnu Ummu Maktum yang buta - Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Ahmad, 
Malik dan al-Darami
Dengan demikian masalah azan seperti ada 
tidaknya dalil tertulis didalam al-Qur’an atau apakah ada beberapa perbedaan lafash antara satu jemaah 
dengan jemaah yang lainnya tidak harus menjadi suatu permasalahan yang memecah 
kesatuan umat dan menghilangkan makna persaudaraan Islam. Sesuatu hal yang 
sangat wajar dan alamiah sekali alasannya kenapa "harus ada" adzan untuk sholat. 
Saat kita masih sekolah (terutama SD) kita sering melakukan gerak 
baris-berbaris, melakukan upacara bendera setiap hari senin pagi, dan untuk 
mengumpulkan siswa ditanah lapang biasanya bapak atau ibu guru menekan bel 
ataupun memukul lonceng sebagai tanda dan isyarat bahwa waktunya sudah tiba. 
Dahulu ketika saya masih aktif mengajar dikelas 
web programming, semua murid belum mau berkemas untuk pulang sebelum terdengar 
bel, padahal waktu sudah lewat dari jadwal seharusnya, ketika saya tanya " ... 
pada nggak mau pulang nih ... ?" ; mereka jawab : "khan belum bel, pak !" ; ya, 
mereka menunggu isyarat yang memastikan bahwa waktu untuk pulang memang sudah 
tiba. Lalu kenapa juga masalah ada tidaknya adzan didalam al-Quran harus 
dipermasalahkan ? Sering saya katakan berulang kali ... jangan terlalu 
berlebihan dalam suatu perbuatan, mari kita bumikan ajaran langit sesuai fitrah 
kemanusiawian yang ada. Pahamilah agama dengan penuh kewajaran dan kelogisan, 
selama sesuatu itu bisa dimanfaatkan untuk mendatangkan kebaikan maka kenapa 
tidak menggunakannya, apalagi Rasul sudah jelas mengaplikasikannya dalam 
kehidupan sehari-hari beliau yang bisa dilihat dari sunnah yang ada.
Bagaimana cara sholat didalam Islam 
?
Sebagaimana yang pernah kita bahas sebelumnya 
(lihat artikel saya mengenai kontroversi kisah penjemputan sholat pada peristiwa 
Mi'raj Nabi), bahwa perintah sholat merupakan tradisi yang diwariskan semua Nabi 
dan Rasul sebagai salah satu bentuk ibadah kepada Allah. Ibadah Sholat ini 
disebutkan juga dalam al-Qur’an dilakukan dengan cara ruku dan sujud. Meski demikian, 
al-Qur’an tidak memberikan 
detil lebih jauh mengenai teknis pengerjaan sholat dalam mewujudkan ruku dan 
sujud tersebut.
Tradisi sholat yang ada dan berlaku didunia 
Islam dewasa ini pada dasarnya dipercaya merupakan sebuah tradisi yang pernah 
ada dijaman Nabi yang diajarkan dari generasi kegenerasi. Sejauh mana keakuratan 
tradisi ini bisa mengacu juga pada catatan-catatan yang ada dari para perawi 
hadis, baik mereka dari kalangan ahlussunnah maupun syiah sebagai dua aliran 
keagamaan terbesar didunia Islam.
Kaum ahlussunnah sangat terkenal dengan 
kepercayaan mereka terhadap kitab-kitab hadis catatan dari Imam Bukhari, Imam 
Muslim, Imam Abu Daud, Imam Tirmidzi, Imam Ahmad, Imam an-Nasa’i dan Imam Ibnu Majah serta beberapa nama 
perawi hadis lainnya. Begitupula halnya dengan kaum Syiah yang terkenal karena 
kefanatikannya terhadap Imam-imam dari kalangan ahli bait Nabi secara turun 
menurun yang diambil dari garis keturunan puteri beliau Fatimah dan Ali bin Abu 
Thalib r.a.
Meskipun ada beberapa perbedaan kecil dalam 
prakteknya, namun secara umum tata cara sholat yang bisa kita temui dari kedua 
aliran ini tidak jauh berbeda antara satu sama lainnya. Karenanya, sisi 
perbedaan yang ditemui masih bisa ditoleransikan. Hal inilah yang 
mengindikasikan kepada kita bahwa tradisi sholat yang berlaku pada jaman kita 
sekarang pasti tidak akan lari terlalu jauh dari yang pernah berlaku dijaman 
Nabi. Tulisan ini akan mencoba menjelaskan secara singkat dan umum mengenai tata 
cara sholat tersebut, baik berdasarkan al-Qur’an maupun as-Sunnah dari berbagai 
literaturnya..
Sebagai pengantar awal, harus kita ingat lagi 
bahwa Sholat adalah sarana untuk memuja Tuhan sebagai salah satu sikap bersyukur 
dan sekaligus waktu untuk melakukan dialog, mengadukan semua keluh kesah yang 
dialami dan mencari jalan keluar dari aneka ragam permasalahan yang ada. Lebih 
jauh lagi ditinjau dari sisi metafisika, Sholat tidak ubahnya sebuah ritual 
meditasi, pemusatan konsentrasi untuk menyelaraskan energi yang ada didalam 
tubuh (energi statis) terhadap energi diluarnya yang maha besar (yang bersifat 
dinamis). 
Dengan demikian, saat sholat terjadi kita 
sebenarnya sedang memancarkan sinyal-sinyal frekwensi terhadap alam semesta, 
terhadap lingkungan kita dan menjangkau sinar-sinar kosmik ilahiah yang sifatnya 
tak hingga. Karena itulah orang yang selalu melakukan sholat secara baik, dia 
bisa terhindar dari energi negatif yang mencelakakannya atau menggiringnya 
kedalam kehinaan.
Sesungguhnya, sholat itu mencegah dari 
perbuatan keji dan mungkar - Qs. 29 al-ankabut : 45
Sebelum memulai sholat, sudah menjadi 
kesepakatan semua umat Islam dari berbagai alirannya untuk melakukan thaharah 
atau bersuci, yaitu dengan cara berwudhu. Praktek ini diperkuat dengan adanya 
perintah tertulis mengenainya didalam al-Qur’an.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu 
hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, 
dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki – Qs. 5 al-Maaidah: 6
Dalam tradisi yang ada, teknis perintah 
berwudhu yang terdapat pada ayat diatas mengalami perkembangan, yaitu dengan 
adanya penambahan mencuci kedua tangan sebelum membasuh muka, lalu berkumur, 
menghisap air hidung, membasuh telinga hingga mencuci janggut. Meskipun demikian 
tidak bisa pula diartikan bahwa penambahan ini menyalahi ketentuan Allah didalam 
al-Qur’an. Kita bisa membaca 
dalam kitab-kitab hadis terkemuka bahwa penambahan yang terjadi ini dilakukan 
oleh Nabi Muhammad sendiri sebagai sunnah beliau untuk lebih membersihkan diri, 
apalagi bila kita ingat dimasa itu tanah Arabia sebagian besar terdiri dari 
bukit-bukit dan padang pasirnya sehingga debu dan kotoran cenderung lebih banyak 
melekat. Apalagi ada kemungkinan besar orang-orang Arab itu gemar memelihara 
jenggot sampai panjang kebawah, sementara al-Qur'an tidak memberikan informasi 
mengenai boleh tidaknya membasahi janggut sewaktu berwudhu, sederhana dan sepele 
kelihatannya, tetapi kita harus ingat, untuk urusan sepelepun terkadang kita 
sering salah, apalagi jika kita lihat konteks ayat tersebut turun dimana para 
pemeluk Islam generasi pertama masih dalam proses belajar agama yang baru mereka 
anut, adalah wajar dan rasional sekali bila hal seperti ini memerlukan jawaban 
atau contoh dari sipembawa ajaran itu sendiri.
Dari Usman bin Affan, bahwa ia pernah meminta 
bejana, lalu ia menuangkannya keatas kedua telapak tangannya kemudian 
membasuhnya, lalu memasukkan yang sebelah kanan didalam bejana, kemudian 
berkumur dan mengisap air hidung, kemudian membasuh mukanya tiga kali dan kedua 
tangan sampai siku-siku tiga kali, kemudian mengusap kepalanya, lalu membasuh 
kedua kakinya tiga kali sampai kedua mata kakinya. Kemudian berkata : 
‘Aku melihat Rasulullah Saw 
berwudhu seperti wudhuku ini. – Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim
Dari Ali r.a, bahwa ia meminta air wudhu, 
kemudia ia berkumur dan mengisap air hidung dan menyemburkan air hidung dengan 
tangan kirinya, maka ia berbuat ini tiga kali kemudian berkata : ‘Inilah bersucinya Nabi Saw.’ – Riwayat Ahmad dan Nasa’i
Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Saw mengusap 
kepalanya dan dua telinganya, luar dan dalamnya. – Riwayat Tirmidzi
Dari anas, bahwa 
Nabi Saw apabila berwudhu maka mengambil seciduk air kemudian memasukkannya 
dibawah cetaknya lalu ia menyela-nyela jenggotnya dan bersabda : ‘Demikianlah Tuhanku 
memerintahkanku.’ 
– Riwayat Abu Daud
Karena sifatnya hanya sunnah, maka berpulang 
kepada diri kita saja berdasarkan situasi dan kondisi, apakah ingin berwudhu 
secara sederhana dan mudah yaitu dengan mengikuti ketentuan al-Qur’an atau dengan mencontoh sunnah Nabi-Nya. 
Tidak ada yang perlu dipertentangkan secara khusus mengenai berwudhu ini, sama 
misalnya disebutkan didalam Hadis, bahwa seandainya saja bersiwak atau menggosok 
gigi tidak akan memberatkan umatnya pasti akan disunnahkan oleh Nabi pula untuk 
melakukannya sebelum kita melakukan sholat.
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw : Beliau 
bersabda : seandainya aku tidak khawatir akan memberatkan orang-orang beriman 
(dalam hadis riwayat Zuhair, disebut umatku), niscaya aku perintahkan mereka 
bersiwak setiap kali akan sholat. - Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, 
Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad, Malik dan Al-Darami
Berwudhu bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu 
menggunakan air dan menggunakan tanah atau debu yang sudah dibersihkan. Adapun 
cara kedua tersebut dilakukan hanya apabila tidak dijumpainya air yang bersih 
atau karena sakit yang mengakibatkannya tidak dapat bersentuhan dengan 
air.
Dan jika kamu sakit atau habis buang air atau 
kamu selesai bersetubuh sedang kamu tidak mendapat air maka hendaklah kamu cari 
debu yang bersih, lalu hendaklah kamu sapu muka kamu dan tangan kamu karena 
sungguh Allah itu sangat memudahkan dan Maha mengampuni. - Qs. 4 
an-Nisaa’ 43
Usai melakukan wudhu, berdirilah tegak 
menghadap kiblat (arah masjid al-Haram) lalu mulailah bertakbir , yaitu 
mengucapkan Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Istilah Allahu Akbar ini memang 
tidak dijumpai dalam al-Qur’an, sebaliknya al-Qur’an memperkenalkan sifat al-Kabir sebagai salah satu asma Allah 
Akan tetapi harus diingat bahwa dalam ayat-ayat 
tersebut Tuhan memerintahkan kita untuk mengagungkan-nya, membesarkan-Nya. 
Sementara kata al-Kabir sendiri berfungsi sebagai kata kerja (verb) didalam 
bahasa Arab yang jika diucapkan (dilakukan) bisa menjadi Akbar, Istilah Takbirah 
adalah bentuk noun dari ungkapan Allahu Akbar sebagaimana yang bisa dijumpai 
dalam tradisi Arabia.
Surah 17:111 menyebutkan istilah yang artinya agungkanlah Dia dengan 
pengagungan yang sebenar-benarnya (Kabbir takbiran) dan ini adalah bersamaan 
maknanya dengan Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Kita tidak bisa menolak istilah 
Allahu Akbar seperti yang dijumpai dalam tradisi sholat dan diriwayatkan oleh 
sejumlah hadis hanya karena istilah ini tidak dijumpai didalam al-Qur'an, 
apalagi menggantinya dengan istilah Allahu Kabir seperti yang dilakukan oleh 
sejumlah orang ingkar sunnah. Terbukti didalam tradisi yang sampai kepada kita 
dari generasi kegenerasi, tidak ada satupun terdengar berita dalam berbagai 
saluran periwayatan bahwa Nabi ataupun seorang Muslim diluarnya mengucapkan 
Allahu Kabir didalam sholat.
Bersamaan waktunya dengan takbir, kita 
mengangkat kedua tangan sejajar dengan telinga, adapun salah satu hikmahnya 
sebagai isyarat perpisahan sementara, meninggalkan urusan duniawi dan 
mengembalikan semua urusan kepada Allah, Tuhan yang Maha Berkehendak.
Dari Ali bin Abu Thalib, dari Rasulullah Saw : 
‘Sesungguhnya beliau apabila 
berdiri untuk sholat wajib, beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya 
berbetulan dengan kedua pundaknya.’ – Riwayat Ahmad, 
Abu Daud dan Tirmidzi
Dalam satu riwayat, sesungguhnya Rasulullah Saw 
apabila takbir, ia mengangkat kedua tangannya sehingga berbetulan dengan kedua 
telinganya. – Riwayat Ahmad 
dan Muslim
Menurut riwayat Abu Daud dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya dan Wail 
bin Hujr, bahwa Nabi merapatkan antara jari-jari kedua tangannya itu dan Wail 
berkata : ‘Sehingga 
berbetulan punggung kedua telapak tangannya itu dengan pundak dan ujung-ujung 
jarinya dengan telinga’
Dari Ibnu Umar, ia berkata : Adalah Rasulullah 
Saw bila berdiri untuk sholat, mengangkat kedua tangannya sehingga berbetulan 
dengan kedua pundaknya itu lalu bertakbir. – Riwayat Ahmad, Bukhari dan 
Muslim
Dengan demkian maka posisi tangan saat takbir 
adalah berada sejajar terhadap bahu dengan jari-jarinya sejajar dengan telinga. 
Selanjutnya kedua tangan yang tadinya diangkat 
diturunkan keposisi antara perut dan dada seraya membaca do’a iftitah atau do’a pembuka, dan salah satu dari 
do’a pembuka yang juga sering 
dibaca Nabi adalah sebagaimana diterangkan hadis berikut :
Dari Ali bin Abu Thalib, ia berkata : Adalah 
Nabi Saw bila berdiri sholat beliau membaca : “Wajjahtu Wajhiya Lilladzi 
Fathorossamaawaatiwal ardho, haniefam muslimaw wamaa ana minal musrykin, inna 
sholati wanusukie wamahyaaya wamamaatie lillaahi Robbil ‘Aalamin. Laa Syarikalah Wabidzalika 
umirtu wa ana minal muslimin. Allahumma Antal Mulku Laailaaha ilaa Anta, Anta 
Robbi Wa ana ‘Abduka, 
Zholamtu Nafsi, Wa’taraftu 
Bidzahbi Faghfirli Dzunubi Jami’an, ...(Kuhadapkan wajahku kepada dzat yang menjadikan langit dan 
bumi dengan lurus dan penuh totalitas, bukanlah aku tergolong orang-orang yang 
menyekutukan Allah. Sesungguhnya, Sholatku, Ibadahku, hidupku dan matiku adalah 
untuk Allah, Tuhan yang mengatur alam semesta, tiada sekutu bagi-Nya dan untuk 
itulah aku diperintah, dan aku adalah tergolong orang-orang yang Muslim. Ya 
Allah ya Tuhanku. Engkau adalah raja yang tiada tuhan melainkan Engkau, Engkau 
adalah Tuhanku dan aku adalah hamba-Mu, aku telah berbuat zalim kepada diriku 
sendiri dan aku telah mengakui dosa-dosaku, karenanya ampunilah dosa-dosaku 
semuanya). 
Adapun menyangkut posisi kedua tangan, maka 
tangan kanan berada diatas tangan kiri sebagaimana terdapat dalam beberapa 
riwayat yang akan disebutkan. Pengaturan yang seperti ini bisa kita duga sebagai 
bentuk sikap takzim dan hormat kepada Allah sipemilik kebenaran, layaknya dalam 
kehidupan ini seorang tentara yang juga memiliki sikap takzim tertentu tatkala 
ia menghadap seorang Jenderal atasannya :
Dari Ali, ia berkata : ‘Sesungguhnya salah satu dari tuntunan 
Nabi mengenai Sholat, yaitu meletakkan telapak tangan diatas telapak tangan, 
dibawah pusar’. - Riwayat 
Ahmad dan Abu Daud
Dari Ibnu Mas’ud, sesungguhnya ia pernah sholat, lalu 
ia meletakkan tangan kirinya diatas tangan kanan, kemudian perbuatannya itu 
dilihat oleh Nabi Saw, lalu beliau meletakkan tangan kanannya diatas tangan kiri 
– Riwayat Abu Daud, Nasai dan 
Ibnu Majah
Beberapa riwayat menyebutkan bahwa dalam 
sholat, pandangan mata kita seyogyanya tidak berpaling dari tempat sujud apalagi 
sampai celingukan kesana kemari. Hal ini bisa kita terima secara logis, bahwa 
dalam melakukan konsentrasi hal yang pertama harus kita lakukan adalah pemusatan 
pikiran, seseorang tidak akan bisa konsentrasi selama dia tidak menyelaraskan 
semua panca inderanya. Karena itu seorang ahli hypnotis selalu mengarahkan 
obyeknya untuk fokus pada satu titik tertentu. Begitupun dengan sholat yang kita 
memang diperintahkan untuk bersikap khusuk yaitu suatu sikap konsentrasi yang 
diikuti oleh hati, gerakan tubuh dan pikiran.
Dari Abdullah bin az Zubair, ia berkata : 
Adalah Rasulullah Saw apabila duduk dalam tahyat, beliau meletakkan tangan kanan 
diatas pahanya yang kanan pula, sedang tangannya yang kiri diatas pahanya yang 
kiri. Dan beliau berisyarat dengan telunjuknya, sedang pandangannya tidak 
melebihi isyaratnya tersebut. – Riwayat Abu Daud, Nasai dan Ahmad
Luruskan mukamu di setiap sholat dan sembahlah 
Allah dengan mengikhlaskan keta'atanmu kepada-Nya - Qs. 7 al-a’raaf 29
Setelah membaca do’a iftitah maka kita diwajibkan untuk 
membaca surah al-Fatihah sebagaimana bisa kita lihat dalam beberapa riwayat 
hadis berikut ini :
Tidaklah sholat bagi orang yang tidak membaca 
al-Fatihah – Riwayat Bukhari 
dan Muslim
Tidak cukup sholat bagi orang yang tidak 
membaca al-Fatihah – Riwayat 
Daruquthni
Dari ‘Aisyah ia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda : 
‘Barangsiapa sholat dengan 
tidak membaca Ummul Qur’an 
(al-Fatihah), maka sholatnya itu tidak sempurna’ - Riwayat Ahmad dan Ibnu 
Majah
Meskipun demikian dibeberapa riwayat lainnya 
kewajiban membaca al-Fatihah ini bisa diganti dengan bacaan-bacaan lainnya bagi 
mereka-mereka yang memang belum atau tidak bisa membaca ayat-ayat 
al-Qur’an dengan baik (lafal 
dan artinya), dalam konteks kita sekarang keringanan ini berlaku bagi para 
muallaf atau orang-orang yang baru memeluk Islam dan sedang belajar 
Sholat.
Dari Rifa’ah bin Rafi’, sesungguhnya Rasulullah Saw mengajar 
sholat kepada seorang laki-laki, lalu ia bersabda : ‘Jika kamu bisa membaca Qur’an maka bacalah, tetapi jika tidak, maka 
bacalah ‘alhamdulillah, 
Allahu Akbar dan Laa ilaaha Illallah (Segala puji bagi Allah, Allah Maha Besar 
dan Tiada tuhan selain Allah); kemudian ruku’lah – Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi
Dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata : 
Seorang laki-laki datang kepada Nabi, lalu ia berkata : ‘Aku tidak dapat membaca Qur’an sama sekali, oleh karena itu ajarlah 
aku bacaan yang kiranya bisa mencukupi sholatku’, maka bersabdalah Nabi : ‘Bacalah : Subhanallah Walhamdulillah 
Walaa ilaaha iLlaAllah Wallahu Akbar Walaa Haula Walaa Quwwata Illaa Billaah 
(Maha Suci Allah dan segala puji bagi Allah, Tiada tuhan kecuali Allah dan Allah 
Maha Besar, tiada daya upaya kecuali atas bantuan Allah) – Riwayat Ahmad, Abu Daud dan 
Nasai
Membaca al-Fatihahpun menjadi tidak wajib saat 
posisi seseorang menjadi makmum dari suatu sholat berjemaah.
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Saw 
telah bersabda : ‘sesungguhnya imam itu dijadikan adalah untuk di-ikuti, karena itu 
apabila ia telah takbir maka takbirlah kamu dan apabila ia sudah membaca maka 
diamlah kamu’ – Riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Daud 
dan Nasai
Dari Abdullah bin Syaddad meriwayatkan, 
sesungguhnya Nabi Saw telah bersabda : ‘Barangsiapa sholat dibelakang imam, maka bacaan imam itu adalah 
menjadi bacaannya’. 
– Riwayat 
Daruquthni
Cukuplah buatmu bacaan imam itu, baik dia 
membacanya perlahan ataupun nyaring – Riwayat Khallal dan Daruquthni
Dijadikan imam itu hanya untuk di-ikuti, 
lantaran itu apabila ia takbir hendaklah kamu takbir dan bila ia membaca 
hendaklah kamu diam – Riwayat 
Ahmad
Dari Abu hurairah, sesungguhnya Rasulullah Saw 
setelah selesai mengerjakan Sholat yang ia keraskan bacaannya, lalu bertanya : 
‘Apakah tadi ada seseorang 
diantara kamu yang membaca bersama aku ? ‘ – maka 
berkatalah seseorang : ‘Betul, ya Rasulullah ! kemudian Nabi bertanya : ‘Mengapa aku dilawan dengan 
al-Qur’an ?’ – Riwayat Abu Daud, Nasai dan Tirmidzi
Telah berkata Jabir : barangsiapa sholat satu 
raka’at dengan tidak membaca 
al-Fatihah maka tidak disebut Sholat kecuali dibelakang imam – Riwayat Malik
Dari ‘Aisyah, ia berkata : Rasulullah Saw pernah sholat dirumahnya dalam 
keadaan sakit, lalu beliau sholat dengan duduk. Dan datang sekelompok orang 
sholat dibelakangnya dengan berdiri. Lalu Nabi memberi isyarat kepada mereka 
‘hendaklah kalian 
duduk’. Lalu ketika selesai 
sholat, Nabi bersabda : ‘sesungguhnya imam itu dijadikan supaya di-ikuti, karenanya bila ia 
ruku’ maka ruku’lah dan bila ia mengangkat kepala maka 
angkatlah kepala kalian, bila ia sholat dengan duduk maka sholatlah pula kalian 
dengan duduk.’ – Riwayat Ahmad, Bukhari dan 
Muslim
Memang ada beberapa hadis lain yang membuat 
pengecualian membaca al-Fatihah dibelakang imam yang sedang membaca surah 
al-Qur’an, namun penulis 
menganggap hadis-hadis tersebut bertentangan secara nyata dengan hadis-hadis 
diatas dan bahkan bertentangan dengan al-Qur’an sendiri yang mewajibkan kita diam saat 
al-Qur’an dibacakan serta 
secara rasio logikapun tidak bisa dibenarkan, sebab imam itu memang dijadikan 
untuk kita ikuti, kita harus melakukan koreksi setiap bacaan yang keluar dari 
mulut sang imam, jika memang ada salah maka kitapun wajib memperbaikinya, 
sekarang bagaimana kita akan tahu imam salah atau tidaknya jika kita sendiri 
sibuk membaca ayat al-Qur’an 
dibelakang imam yang juga sedang membaca ayat al-Qur’an ? dimana pula letak rahmat yang kita 
peroleh dari menentangkan al-Qur’an dengan al-Qur’an itu ?
Dan apabila Qur’an dibaca, maka perhatikanlah dan diamlah 
agar kamu mendapatkan rahmat.- Qs. 7 al-‘A’raaf : 
203
Surah al-Fatihah sendiri merupakan surah 
pertama dalam al-Qur’an 
meskipun ia bukan surah pertama yang turun kepada Nabi, didalam surah al-Fatihah 
ini terdapat ayat-ayat pujian kepada Allah, ayat-ayat pengesaan akan dzat-Nya 
serta ayat-ayat do’a atau 
permohonan bantuan kita sebagai makhluk yang lemah terhadap Allah. 
Surah al-Fatihah ini terdiri dari tujuh ayat 
dan mengenai susunannya memang terdapat perbedaan dikalangan ulama Islam, apakah 
ayat pertama dimulai dari Bismillah ataukah dimulai dari Alhamdulillah, namun 
sebenarnya hal ini tidak perlu dipertentangkan karena dalam sebuah hadis yang 
panjang dari Abu Hurairah riwayat Jama’ah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah disebutkan bahwa al-Fatihah itu 
dimulai dari Alhamdulillah, sementara bacaan Bismillah itu sendiri merupakan 
bacaan pemisah dan pembuka antar ayat-ayat al-Qur’an kecuali surah al-Bara’ah, dengan demikian ayat 
Bismillahhirrohmanirrohim ini bukan termasuk ayat al-Fatihah namun ia merupakan 
ayat tersendiri, sama seperti didalam surah-surah al-Qur’an yang lainnya.
Alhamdulillahhirobbil ‘Alamin (segala 
puji bagi Allah, Tuhan seluruh makhluk) – ayat 1 
Arrohmanirrohim (Yang sangat pengasih dan penyayang) 
– ayat 2 
Maaliki yaumiddin (Yang menguasai hari pembalasan) 
– ayat 3 
Iyyakana’budu 
waiyyakanasta’in (Hanya kepada-Mu saja kami mengabdi dan 
hanya kepada-Mu kami memohon bantuan) – ayat 4 
Ihdinassirotol mustaqim (Tunjukkanlah kami pada jalan kebenaran) 
– ayat 5 
Shirotolladzi na’anamta ’alaihim (Jalan 
orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka) 
– ayat 6 
Ghoiril maghduubi ‘alaihim waladdhollien (bukan jalan mereka yang Engkau murkai dan bukan jalan orang yang 
sesat) – ayat 7
Wassalam,
Armansyah
BACA JUGA:
KEMUDAHAN SHOLAT
    Author:  - 5:59 AM

Tidak ada komentar